Konsistensi Nafisah di jalan zuhud tercatat dalam sejarah emas
sufisme di Dunia Islam. Hingga ajal menjemput, sosok keturunan
Rasulullah SAW ini, pada Ramadhan 208 H, nuansa kezuhudannya itu sangat
kental.
Ia meninggal dalam kondisi berpuasa. Permintaan untuk membatalkan puasanya tak ia gubris. Ia wafat dengan kemuliaan.
Ia membaca, “Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi
Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang
selalu mereka kerjakan.” (QS al-An'aam [6]: 127).
Dengan untaian kalimat syahadat, ia menghadap Tuhan-Nya. Meninggalkan kisah keteladanan yang kekal dan mewangi.
Nafisah, di sudut rumahnya, ia menggali tanah hingga menyerupai liang
lahat. Di lubang itulah, ia shalat dan banyak menelaah Alquran. Seperti
dikisahkan, ia membaca Alquran sebanyak 190 kali di lokasi itu.
Ketekunannya itu tak luput dari perhatian sang suami. Ia meminta agar
Nafisah memperhatikan pula kondisi fisiknya. Ia tetap konsisten di
jalannya. “Barang siapa yang beristiqamah bersama-Nya, maka alam semesta
ada di genggaman dan akan menaatinya,” katanya.
Nafisah adalah sosok yang berhati-hati (wara'), tak terkecuali soal
makanan. Ia tidak pernah memakan apa pun kecuali dari harta suaminya.
Ini berdampak pada kekuatan doa yang ia panjatkan. Doa Nafisah terkenal
mujarab.
Konon, Imam Ahmad bin Hanbal pernah sengaja meminta doanya. Satu
persatu warga Mesir mulai menyadari kedudukan Nafisah. Tiap hari mereka
memadati rumah Nafisah. Ada yang ingin belajar, sebagiannya ingin
mengharapkan doa.
Kondisi ini membuatnya resah. Ia semakin sulit beribadah. Waktunya
tersita. Ia memutuskan meninggalkan Mesir dan kembali ke Madinah. Tak
lama kabar itu terdengar, otoritas Mesir, Sirr al-Hakim, turun tangan.
Sang penguasa mencegah rencana tersebut. Sebagai solusi, tempat
tinggal Nafisah dipindahkan ke kawasan Darb as-Siba'. Jadwal kunjungan
dibatasi hanya dua hari, yaitu Sabtu dan Rabu.
Konsep dan pola tasawuf yang ia tekuni tak antisosial. Tokoh yang
telah berhaji sebanyak 30 kali ini adalah sosok yang peduli sesama, suka
memberi, dan menolong mereka yang membutuhkan atau teraniaya. Ia pernah
menolong seorang hartawan yang terampas haknya oleh pemerintah.
Ia menentang keras kezaliman tersebut dan berjuang agar hak tersebut
dikembalikan. Perjuangannya terkabul. Hartawan itu akhirnya memberikan
hadiah 100 ribu dirham. Ini sebagai ucapan terima kasih. Ia terima
hadiah itu dan membagikannya untuk fakir miskin kendati ia sendiri hidup
serbakekurangan.
Berilmu
Di jagat ilmu agama dan pengetahuan, namanya tersohor: Nafisah binti
al-Hasan. Cucu Rasulullah SAW kelahiran Makkah 145 H itu mahir menguasai
berbagai disiplin ilmu. Tumbuh dan berkembang di Madinah, mencetaknya
sebagai pribadi yang matang. Ia berhasil menghafal Alquran saat ia masih
kecil. Ia pun belajar tafsir dan hadis, hingga ia lihai di kedua bidang
itu.
Ayahnya, Zaid bin al-Hasan, adalah gubernur Madinah ketika Khalifah
Abu Ja'far al-Manshur berkuasa. Akibat persaingan politik, Zaid
ditangkap dan diasingkan ke Baghdad. Seluruh hartanya disita. Nafisah
pun menyertai ayahandanya ke Baghdad. Zaid dinyatakan bebas saat
Khalifah al-Mahdi naik takhta. Al-Mahdi mengembalikan kekayaan Zaid.
Bersama sang suami, Ishaq al-Mu'tamin bin Imam Ja'far as-Shadiq,
tokoh yang bernama lengkap Nafisah binti al-Hasan bin Zaid bin
al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib itu pindah ke Madinah. Ia hidup dengan
penuh kedamaian.
Di kota itu, ia mulai membuka kelas untuk belajar di rumahnya. Para
pelajar berbondong-bondong ke rumahnya untuk mencari ilmu. Ia berbagi
banyak sanad hadis. Sering pula memberikan fatwa atas persoalan
tertentu. Atas prestasinya itu, ia mendapat gelar “Gudang Ilmu
Pengetahuan”.
Pada 193 H ia pindah ke Mesir ditemani oleh suami dan ayah tercinta.
Penduduk Mesir menyambutnya dengan antusias. Kegembiraan tampak
terpencar di raut wajah mereka. Ia tinggal di kediaman salah satu tokoh
Mesir Ibn al-Jashsash yang terletak di Fustat.
Di Negeri Piramida itu, ia mendapatkan penghargaan yang luar biasa.
Warga Mesir berduyun-duyun belajar kepadanya. Sejumlah ulama senior pun
turut menggali ilmu darinya secara langsung, di antaranya Imam Syafii.
Ia sering menghadap ke ibu dari Qasim dan Ummu Kultsum tersebut.
Pertemuan antarkeduanya berlangsung secara terpisah di belakang pembatas
ruangan. Diskusi mengalir tentang soal apa pun, mulai dari fikih,
hadis, dan ibadah.
Intensitas dan frekuensi pertemuan itu menumbuhkan hubungan emosional
yang kuat antara guru dan murid. Ketika Imam Syafii sakit parah, ia
meminta Nafisah mendoakannya agar cepat sembuh. Selang beberapa hari,
peletak Mazhab Syafii itu wafat. Ia berwasiat supaya Nafisah berkenan
menshalati jenazahnya. Ia memenuhi wasiat itu. Kepergian Syafii menjadi
pukulan berat baginya
0 komentar:
Posting Komentar